Opini

Pemuda dan Kedaulatan Demokrasi : Dari Suara ke Kesadaran

Ketika Demokrasi Hanya Menjadi Ritual

Demokrasi sering dirayakan dengan gegap gempita: kampanye, baliho, debat, dan euforia di media sosial. Namun setelah itu, sunyi. Rakyat kembali menjadi penonton, dan idealisme demokrasi berhenti di bilik suara. Inilah paradoks yang kita hadapi: demokrasi hidup di atas kertas, tetapi mati di dalam kesadaran.

Dalam kondisi seperti ini, peran pemuda menjadi penentu arah. Bukan karena mereka sekadar generasi penerus, tetapi karena merekalah yang memiliki keberanian untuk bertanya — bahkan menggugat — ketika demokrasi kehilangan maknanya. Sejarah bangsa ini sudah membuktikan, dari Sumpah Pemuda 1928 hingga Reformasi 1998, perubahan besar selalu dimulai dari keberanian moral anak muda yang menolak diam di tengah ketidakadilan.

Namun kini, tantangan pemuda berbeda. Bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan kesadaran. Dunia digital menciptakan ruang kebebasan yang semu — di mana kebisingan informasi sering menenggelamkan kebenaran, dan opini lebih cepat menyebar daripada pemahaman. Demokrasi kita bisa menjadi rapuh jika generasi mudanya kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan independen.

Membangun Literasi Demokrasi

Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang cerdas secara politik. Namun realitanya, sebagian besar pemuda masih menganggap politik sesuatu yang kotor, rumit, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ruang publik dikuasai oleh mereka yang berani bersuara, tapi belum tentu berintegritas.

Inilah mengapa literasi demokrasi menjadi kebutuhan mendesak. Pemuda harus memahami bahwa demokrasi bukan sekadar tentang memilih, tetapi juga tentang mengawasi, berpartisipasi, dan bertanggung jawab terhadap arah kebijakan publik. Mereka perlu dilatih untuk membaca isu sosial secara kritis, mengenali manipulasi informasi, dan memahami hak-hak warga negara.

Kampus, organisasi kepemudaan, hingga komunitas digital perlu menjadi ruang pendidikan politik yang hidup — bukan tempat indoktrinasi, tetapi tempat berdialog, berdebat, dan belajar menghargai perbedaan. Literasi demokrasi tidak cukup diajarkan dalam ruang kelas, tetapi harus dipraktikkan dalam keseharian: bagaimana bersikap adil, berargumentasi tanpa membenci, dan menolak intoleransi dalam bentuk apa pun.

Dari Partisipasi Seremonial ke Partisipasi Substansial

Banyak pemuda aktif di media sosial, tetapi pasif dalam proses pengambilan keputusan nyata. Demokrasi digital memang membuka peluang ekspresi, tetapi sering kali hanya menciptakan partisipasi semu: ramai di dunia maya, tapi sepi di dunia nyata.

Pemuda perlu bergerak dari simbol ke substansi — dari sekadar menjadi “followers” menuju “pengambil peran”. Partisipasi sejati bukan hanya memilih saat pemilu, tetapi juga terlibat dalam advokasi sosial, penelitian kebijakan, dan gerakan komunitas yang berorientasi pada solusi.

Di banyak daerah, muncul inisiatif pemuda yang mempraktikkan demokrasi dalam bentuk baru: gerakan lingkungan, koperasi digital, kampanye literasi desa, hingga startup sosial. Mereka tidak menunggu momentum politik, tetapi menciptakan perubahan kecil yang berdampak luas. Di situlah kedaulatan demokrasi menemukan maknanya — ketika rakyat, terutama pemuda, mampu mengambil alih peran sebagai penggerak, bukan penonton.

Integritas: Nafas dari Demokrasi yang Hidup

Namun, sekuat apa pun partisipasi, demokrasi akan rapuh tanpa integritas moral. Politik uang, korupsi, dan manipulasi informasi menjadi penyakit yang merusak akar demokrasi kita. Di tengah kondisi ini, pemuda harus menjadi kontras moral yang menegakkan etika di atas kepentingan sesaat.

Kepemimpinan pemuda masa depan tidak cukup hanya dengan kemampuan intelektual, tetapi juga keberanian moral untuk mengatakan “tidak” pada ketidakadilan. Demokrasi bukan sekadar sistem yang menjamin kebebasan, melainkan juga ujian terhadap integritas: apakah kita masih sanggup jujur, adil, dan berpihak pada kebenaran meski tanpa sorotan kamera?

Dalam konteks itu, peran pendidikan dan komunitas menjadi penting. Kampus seharusnya menjadi laboratorium etika publik — tempat menumbuhkan empati, tanggung jawab sosial, dan keberanian berpendapat. Organisasi kepemudaan pun harus kembali pada jati dirinya sebagai ruang pembelajaran karakter, bukan sekadar tangga menuju kekuasaan.

Menegakkan Kedaulatan dari Dalam Diri

Kedaulatan demokrasi sejati tidak hanya diukur dari proses politik, tetapi dari kesadaran diri warga negara. Demokrasi yang berdaulat adalah demokrasi yang tumbuh dari dalam — dari pikiran yang merdeka, hati yang jernih, dan tindakan yang bertanggung jawab.

Pemuda harus menyadari bahwa menjadi warga negara yang berdaulat berarti berani berpikir sendiri, tidak mudah disetir opini, dan tidak menyerahkan nasib bangsa pada elit politik semata. Demokrasi hanya hidup bila rakyatnya sadar, dan kesadaran itu tumbuh dari kemampuan untuk meragukan, mempertanyakan, dan mencari kebenaran dengan jujur.

Dalam era disrupsi, peran pemuda menjadi lebih dari sekadar penggerak politik. Mereka adalah penjaga nalar publik. Mereka harus memastikan bahwa demokrasi tidak terjebak dalam ritual elektoral, tetapi menjadi ruang etis untuk memperjuangkan martabat manusia. Demokrasi tanpa kesadaran hanyalah prosedur; tetapi demokrasi dengan kesadaran adalah peradaban.

Penutup: Dari Suara ke Tindakan

Kita tidak kekurangan pemuda yang cerdas. Yang kita butuhkan adalah pemuda yang berani — berani berpikir merdeka, berani menolak kompromi yang koruptif, dan berani mencintai bangsa ini dengan tindakan nyata.

Kedaulatan demokrasi tidak bisa diwariskan; ia harus diperjuangkan setiap hari, dengan pikiran yang terbuka dan hati yang jujur. Pemuda harus meneguhkan dirinya sebagai penjaga nurani bangsa, bukan sekadar pewaris sejarah. Karena di tangan mereka, demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan janji kemanusiaan: bahwa setiap manusia berhak untuk hidup bermartabat, berpendapat bebas, dan menentukan nasibnya sendiri.

Dan mungkin, saat bangsa ini kembali kehilangan arah, suara jujur dari seorang pemuda — meski kecil — akan lebih berarti daripada seribu janji dari para penguasa.

Penulis : Yusuf (Anggota KPU Dompu)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 194 kali