Profil Anggota KPU Kabupaten Dompu | Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2024 | Tahapan Dan Jadwal Pilkada Dompu Tahun 2024

Publikasi

Opini

Pasca berakhirnya agenda lima tahunan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024, muncul pertanyaan yang kerap dilontarkan publik: Apa yang menjadi pekerjaan KPU setelah pemilu selesai? Pertanyaan ini menuntut jawaban yang tidak hanya bersifat internal, tetapi juga perlu disampaikan secara terbuka kepada publik agar mereka memahami bahwa KPU tetap menjalankan peran strategis dalam menjaga kualitas demokrasi, bahkan di luar periode pemilu. Sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan dapat terus memberikan kontribusi positif bagi dinamika demokrasi di Indonesia. Selain menjalankan fungsi teknis dalam penyelenggaraan pemilu, KPU juga memegang tanggung jawab substansial dalam menjaga integritas data kepemiluan. Salah satu tugas utama KPU pasca Pemilu dan Pilkada 2024 adalah melaksanakan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Kegiatan ini menjadi fokus kerja KPU di luar masa tahapan aktif, dengan tujuan menyajikan data pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir sebagai landasan penyusunan data pemilih pada pemilu berikutnya. Pemutakhiran data pemilih merupakan salah satu tahapan paling panjang sekaligus paling krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Proses ini beririsan dengan berbagai tahapan teknis lainnya, mulai dari pemetaan Tempat Pemungutan Suara (TPS), pencocokan dan penelitian (coklit), penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Keterkaitan ini juga mencakup aspek logistik, penentuan jumlah tempat pemungutan suara, serta penyusunan anggaran. PDPB Sebagai Prioritas KPU Tahun 2025 Merujuk pada Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2025, PDPB adalah kegiatan memperbarui data pemilih berdasarkan DPT hasil pemilu atau pemilihan terakhir yang telah disinkronkan dengan data kependudukan nasional, termasuk data WNI di luar negeri. Tujuan utamanya adalah memelihara dan memperbarui DPT secara berkelanjutan guna mendukung penyusunan DPT pada pemilu mendatang. Penting untuk dipahami bahwa data pemilih bersifat dinamis. Perubahan senantiasa terjadi akibat dinamika kependudukan seperti kelahiran, kematian, dan perpindahan domisili. Sejarah demokrasi Indonesia mencatat bahwa ketidakakuratan data pemilih kerap menjadi sumber sengketa pemilu. Oleh karena itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu berkewajiban memastikan data pemilih yang representatif, valid, dan terkini. Di sinilah pentingnya kerja berkelanjutan dalam pemutakhiran data. Tahun 2025 menjadi momentum pembuktian bagi KPU untuk menunjukkan relevansi dan kredibilitas kelembagaannya. Dalam rangka menjaga kesinambungan proses demokrasi, KPU perlu menjadikan PDPB sebagai prioritas strategis. Di samping menjamin keberlanjutan tahapan pemilu, PDPB juga merupakan investasi dalam pembangunan data kependudukan yang akurat, bermanfaat bagi KPU, pemerintah, maupun masyarakat luas. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan institusional KPU untuk merawat data pemilih secara berkala. Metode dan mekanisme PDPB perlu disosialisasikan secara luas agar masyarakat tidak menganggapnya sebagai beban kerja KPU semata, melainkan sebagai kebutuhan bersama. Partisipasi publik sangat penting. Masyarakat dapat berperan aktif dengan melaporkan perubahan status kependudukan atau keberadaan pemilih baru agar data yang diperbarui benar-benar mencerminkan kondisi riil. Kerja Kolektif, Bukan Kerja Sektoral Mekanisme pemutakhiran data dimulai dengan KPU RI yang secara berkala mendistribusikan data turunan dari hasil sinkronisasi DPT terakhir, yang telah dipadukan dengan berbagai sumber pendukung, kepada KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya, pemutakhiran dilakukan secara de jure dengan mengacu pada dokumen resmi seperti KTP Elektronik, Kartu Keluarga (KK), biodata penduduk, atau Identitas Kependudukan Digital (IKD). Data tersebut kemudian dicermati dan diperbarui, baik melalui penambahan pemilih baru (misalnya, warga yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah), perubahan elemen data (seperti, nama dan alamat), maupun pencoretan pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat (karena meninggal, pindah domisili, atau menjadi anggota TNI/Polri). Hasil pemutakhiran tersebut kemudian direkapitulasi secara berjenjang dan ditetapkan sebagai bagian dari PDPB. PDPB harus dimaknai sebagai kerja kolektif, bukan tugas sektoral dari satu divisi tertentu. Kolaborasi antara KPU, Bawaslu, partai politik, Dinas Dukcapil, serta pemangku kepentingan lainnya sangat dibutuhkan untuk menghasilkan data pemilih yang valid dan mutakhir. Upaya kecil sekalipun, seperti pengecekan data secara rutin, dapat menjadi kontribusi signifikan dalam menjaga kualitas daftar pemilih. Keberhasilan kegiatan ini bergantung pada kekompakan tim; jika salah satu unsur tidak berfungsi optimal, kinerja keseluruhan akan terganggu. Sebaliknya, jika semua elemen bergerak selaras, maka PDPB dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Komunikasi dan koordinasi antartim menjadi kunci sukses pelaksanaan. PDPB tidak dapat dijalankan secara sporadis, melainkan menuntut sinergi internal dan antar-lembaga secara konsisten. Selain itu, melakukan pemutakhiran secara berkelanjutan jauh lebih strategis dibandingkan pembaruan mendadak menjelang pemilu. PDPB memungkinkan tahapan pemilu berjalan lebih tertata, terukur, dan meminimalkan margin of error (tingkat kesalahan). Secara prinsipil, PDPB adalah fondasi dalam membangun pemilu yang berkualitas. Validitas data pemilih secara langsung memengaruhi legitimasi hasil pemilu dan tingkat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Pengalaman panjang pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa sengketa hasil pemilu kerap bermula dari persoalan data pemilih. Banyak gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang mendalilkan keabsahan DPT sebagai akar persoalan. Di tengah dinamika politik yang terus berubah, PDPB menjadi jangkar bagi stabilitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. PDPB menjadi solusi preventif yang sangat penting dalam menghindari potensi sengketa pemilu. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) bukan sekadar kewajiban hukum yang diatur perundang-undangan, melainkan wujud tanggung jawab moral KPU dalam menjaga integritas demokrasi, sekaligus menjadi bentuk jawaban konkret atas keraguan publik terhadap eksistensi dan relevansi KPU pasca pemilu. PDPB adalah bukti kongret kinerja KPU dalam mengawal Demokrasi, tahapan pemilu boleh selesai namun kinerja KPU harus tetap jalan, ikhtiar untuk menjadi yang terbaik dalam memikul tanggungjawab sebagai penyelenggara adalah pilihan tinggal bagaimana mengimplementasikannya dalam kerja kerja nyata di KPU. Penulis Oleh : NASARUDIN Anggota KPU Dompu (Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi)

    Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan memilih pemimpin yang akan memimpin Negara atau daerah. Namun, demokrasi tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat, terutama generasi muda. Di Dompu, Nusa Tenggara Barat, generasi muda memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi. Mereka adalah penerus bangsa dan akan menjadi pemimpin di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan pemilih dan pendidikan politik menjadi sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi mereka dalam proses demokrasi. Demokrasi di tingkat daerah membutuhkan partisipasi aktif warga, tidak hanya pada hari pemilihan. Di Kabupaten Dompu (Provinsi Nusa Tenggara Barat) tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 tercatat sebesar 86,33 % dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 190.546 pemilih  dan angka ini melampaui target nasional sebesar 85 %.  Meski demikian, KPU Dompu mengidentifikasi masih terdapat potensi apatisme terutama di kalangan generasi muda dan pemilih pemula.(http://kab-dompu.kpu.go.id/blog/read/8019_meruntuhkan-apatisme-kunci-meningkatkan-partisipasi-pemilih-di-pilkada-dompu?utm_source=chatgpt.com) Maka dari itu, pendidikan politik untuk generasi muda menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan demokrasi lokal, agar suara mereka bukan hanya digunakan tapi juga dipahami maknanya. Pentingnya Pendidikan Politik untuk Generasi Muda  Pendidikan politik adalah proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang politik dan pemerintahan. Pendidikan politik membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, serta meningkatkan partisipasi mereka dalam proses demokrasi. Merawat demokrasi bukan hanya tugas saat pemilu berlangsung, tetapi harus dimulai jauh sebelum itu, yakni dengan membangun kesadaran politik sejak usia dini. Melalui kegiatan sosialisasi pendidikan pemilih di lingkungan sekolah, KPU Kabupaten Dompu hadir di tengah-tengah generasi muda sebagai bagian dari upaya menanamkan nilai-nilai demokrasi yang sehat, jujur, dan partisipatif.  Generasi muda merupakan pemilih masa depan sekaligus penerus pemimpin lokal. Pendidikan politik sejak usia sekolah menengah dapat menanamkan nilai partisipasi, tanggung jawab, dan kehormatan terhadap demokrasi. Di Dompu, program sosialisasi oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dompu sudah mulai digalakkan melalui sekolah‐sekolah. Dengan pendidikan politik yang baik, generasi muda dapat menjadi agen literasi warga, menekan angka golput, dan memperkuat proses demokrasi agar tidak hanya formalitas. Data Partisipasi dan Tantangan Generasi Muda di Dompu  Demokrasi bukan sekadar memilih, tapi tentang memahami hak, tanggung jawab, serta pentingnya suara setiap individu. Harapan besar tertanam dalam diri para pelajar hari ini, bahwa mereka adalah pemilih cerdas masa depan, sekaligus agen perubahan yang akan menjaga keberlangsungan sistem demokrasi di Dompu dan Indonesia pada umumnya. Data menunjukkan partisipasi tinggi secara umum, namun ada tantangan tersendiri untuk generasi muda. Contoh : Data KPU Kabupaten Dompu pada pemilihan umum 2019 partisipasi pemilih di Dompu mencapai 70,12% dan pada Pilkada 2024 Kabupaten Dompu berhasil mencapai partisipasi 86,33 %, data dari Bappeda Dompu pada tahun 2020 jumlah generasi muda Kabupaten Dompu yang berusia 15-24 tahun mencapai 30,12% dari total penduduk Dompu, dan data dari Dinas Pendidikan Dompu pada tahun 2020 jumlah sekolah yang memiliki program pendidikan politik mencapai 60% dari total sekolah di Kabupaten Dompu. Namun, meskipun angka ini cenderung mengalami peningkatan, masih terdapat faktor apatisme seperti pengalaman pemilu sebelumnya kurang memuaskan, hambatan akses informasi, atau kurangnya literasi politik. (http://kab-dompu.kpu.go.id/blog/read/8019_meruntuhkan-apatisme-kunci-meningkatkan-partisipasi-pemilih-di-pilkada-dompu?utm_source=chatgpt.com) Untuk generasi muda, tantangan ini semakin nyata karena mereka menghadapi dinamika digital, pengaruh media sosial, dan seleksi informasi yang belum matang. Dalam konteks keDompuan, KPU telah menyebutkan pentingnya program ‘Teman Pemilih’ sebagai upaya menjangkau pemilih muda. Peran Aktif Generasi Muda dalam Menjaga Demokrasi  Generasi muda adalah pilar utama dalam keberlangsungan demokrasi. Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, peran mereka semakin strategis dan vital. Di Kabupaten Dompu, kehadiran pemuda dalam berbagai kegiatan sosialisasi politik, pemilu, hingga forum diskusi publik menjadi bagian penting dalam menjaga semangat demokrasi tetap hidup. Berikut beberapa bentuk peran aktif generasi muda dalam menjaga demokrasi: Menjadi Pemilih Cerdas dan Partisipatif. Generasi muda memiliki tanggung jawab moral untuk tidak golput. Mereka diharapkan aktif menggunakan hak pilihnya secara bijak, berdasarkan visi, misi dan rekam jejak kandidat. Penyebar Literasi Politik. Dengan keterampilan digital dan akses informasi yang luas, pemuda dapat menjadi agen literasi politik di tengah masyarakat, terutama untuk menanggulangi hoaks, ujaran kebencian, dan politik uang. Penggerak Komunitas Demokratis. Melalui organisasi, OSIS, karang taruna, dan komunitas lokal, pemuda dapat menginisiasi ruang diskusi, pelatihan demokrasi, hingga simulasi pemilu untuk menciptakan pemahaman politik yang sehat sejak dini. Kontrol Sosial dan Pengawasan. Pemuda dapat berperan aktif mengawasi jalannya proses pemilu agar berjalan jujur, adil, dan transparan, baik melalui relawan demokrasi, pengawas partisipatif, maupun kampanye anti-politik transaksional. Dengan membangun kesadaran politik dan memperkuat kapasitas pemuda, demokrasi lokal seperti di Dompu akan tumbuh kuat dari akar rumput. Demokrasi yang hidup bukan hanya ditentukan oleh proses pemilu yang lancar, tapi oleh generasi muda yang sadar akan perannya sebagai penjaga nilai-nilai kebangsaan dan keadilan sosial. Di Dompu, KPU Kabupaten Dompu telah menjaga keterlibatan siswa dalam debat OSIS sebagai miniatur demokrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa generasi muda telah dilibatkan dalam proses demokrasi sejak usia sekolah, yang secara teori akan meningkatkan pemahaman mereka terhadap hak dan tanggung jawab politik. Oleh : Maman Apriansyah (Kadiv Hukum & Pengawasan)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana penting dalam mewujudkan demokrasi lokal yang partisipatif dan akuntabel. Namun, dalam pelaksanaannya, tantangan terbesar yang dihadapi adalah apatisme politik, yaitu sikap acuh tak acuh atau ketidakpedulian masyarakat terhadap proses pemilihan. Di Kabupaten Dompu, fenomena ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani secara serius dan sistematis. Partisipasi masyarakat bukan sekadar angka, tapi cerminan hidupnya demokrasi lokal. Meruntuhkan apatisme adalah tanggung jawab bersama penyelenggara, pemerintah, peserta pemilu, dan masyarakat. Pilkada Dompu 2024 adalah momentum untuk membuktikan bahwa suara rakyat Dompu benar-benar berarti. Karena ketika rakyat percaya dan peduli, demokrasi akan tumbuh subur, dan Dompu akan melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Namun seperti banyak daerah lain, Kabupaten Dompu menghadapi masalah klasik yakni apatisme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, hal ini menjadi bukti bahwa tingkat partisipasi masyarakat Dompu pada Pilkada 2024 berkisar 86,44% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 190.546. Meskipun demikian tingkat partisipasi pemilih di Dompu masih yang tertinggi  se-NTB dan melampau target Nasional yakni sebesar 85%. Dengan demikian, semangat untuk menjadikan Pilkada Dompu Manggini, Manggari, Mataroa bukan sekadar seremoni, tetapi momentum nyata demokrasi yang hidup, maka upaya meruntuhkan apatisme menjadi faktor krusial agar partisipasi masyarakat meningkat. Apatisme sebagai Tantangan Demokrasi Lokal Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap proses politik dan pemilu, ini dapat muncul dari berbagai faktor diantaranya: kekecewaan terhadap penyelenggaraan sebelumnya, kurangnya kepercayaan pada calon pemimpin, rendahnya pengetahuan tentang hak politik, serta hambatan akses informasi. Di Kabupaten Dompu, data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya. Fenomena ini menandakan bahwa banyak warga yang merasa lelah, skeptis, atau tidak melihat manfaat langsung dari penggunaan hak pilih mereka. Padahal secara konstitusional, partisipasi pemilih merupakan elemen penting demokrasi. Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Maka, partisipasi masyarakat bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab untuk mewujudkan legitimasi pemerintahan.   Faktor-faktor Penyebab Apatisme Pemilih Pertama, Keterbatasan informasi dan literasi politik menjadi penyebab utama apatisme pemilih, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya suara mereka dalam menentukan arah kebijakan publik membuat sebagian masyarakat merasa tidak perlu ikut serta ditambah dengan masih banyaknya warga yang tidak mendapatkan informasi memadai mengenai calon, visi-misi, serta alur  pelaksanaan Pilkada. Tanpa pemahaman, motivasi memilih akan rendah. Kedua, Ketidakpercayaan terhadap penyelenggara dan calon. Pemilih yang pernah atau sering menyaksikan berbagai isu seperti dugaan kecurangan, manipulasi suara, atau kurangnya transparansi dalam proses pemilu, akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara seperti KPU atau Bawaslu. Kemudian banyak pemilih merasa bahwa calon yang bertarung dalam Pilkada hanya sekadar mencari kekuasaan tanpa benar-benar memiliki komitmen membangun daerah. Apalagi jika figur-figur tersebut memiliki rekam jejak buruk, tersangkut kasus korupsi, atau tidak pernah hadir di tengah masyarakat. Hal ini memicu rasa pesimis dan membuat pemilih berpikir bahwa siapapun yang menang, tidak akan membawa perubahan. Ketiga, Hambatan fisik dan geografis. Kelompok rentan secara fisik, seperti penyandang disabilitas, lansia, atau sakit, juga menghadapi kesulitan untuk hadir di TPS jika tidak tersedia aksesibilitas yang ramah dan bantuan yang memadai. Begitupun dengan wilayah terpencil seperti desa-desa pedalaman atau daerah pegunungan, pemilih sering kali harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai TPS, di tambah dengan jalan yang rusak, medan berat, serta minimnya fasilitas umum seperti jembatan atau kendaraan umum. Ini menjadi beban tersendiri, terutama jika tidak tersedia sarana transportasi yang memadai. Keempat, Jam kerja dan kesibukan ekonomi. Salah satu penyebab rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilihan adalah benturan antara waktu pemungutan suara dengan aktivitas kerja atau mata pencaharian utama masyarakat, terutama di kalangan buruh, pekerja harian, pedagang, dan petani. Meski hari pemilihan biasanya ditetapkan sebagai hari libur nasional, banyak pekerja di sektor informal yang tetap bekerja karena sistem upah harian. Mereka cenderung mengutamakan bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dibanding menggunakan hak pilihnya. Kelima, Pengalaman pemilu sebelumnya. Pengalaman negatif dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya menjadi salah satu penyebab kuat munculnya sikap apatis di kalangan pemilih. Hal ini berpengaruh terhadap persepsi dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan efektivitas suaranya. Banyak pemilih merasa kecewa karena kandidat yang mereka pilih tidak menjalankan janji politiknya atau tidak membawa perubahan yang signifikan setelah terpilih. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa memilih tidak memberikan dampak nyata bagi kehidupan mereka. Kemudian adanya praktik politik uang, manipulasi suara, atau pelanggaran dalam proses pemilu sebelumnya juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara maupun peserta pemilu masyarakat menjadi ragu apakah proses pemilihan benar-benar jujur dan adil. Akumulasi pengalaman buruk ini membentuk sikap skeptis dan apatis, sehingga pemilih enggan datang ke TPS atau bahkan memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali dalam proses politik. Strategi Meruntuhkan Apatisme di Pilkada Dompu Pendidikan dan literasi politik yang inklusif. Penyelenggara (KPU Dompu) bersama stakeholder lokal perlu melakukan pendidikan politik yang mudah dipahami, menggunakan bahasa daerah jika perlu, menyasar sekolah, pemuda, dan komunitas. Media lokal dan media sosial juga harus dimanfaatkan agar informasi politik cepat hingga ke lapisan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan. Publikasikan secara terbuka alur tahapan Pilkada, biaya, penyelesaian sengketa, serta mekanisme pengaduan. Dengan begitu warga dapat melihat bahwa proses demokrasi berjalan adil. Ini akan membangun kepercayaan. Kolaborasi dengan tokoh lokal, agama, dan komunitas. Tokoh agama, tokoh adat, maupun komunitas lokal bisa menjadi “jembatan” antara penyelenggara dan masyarakat. Dengan mengajak mereka aktif terlibat dalam sosialisasi, ajakan untuk menggunakan hak pilih menjadi lebih efektif. Pelayanan dan fasilitas pemilih yang ramah. Pertimbangkan pengaturan waktu yang memudahkan warga, penempatan TPS yang strategis, fasilitas akses bagi kelompok disabilitas, serta layanan transportasi bila diperlukan agar warga tidak terbebani secara fisik atau logistik. Penguatan kehadiran digital dan media komunikasi. Dalam era digital, penyebaran informasi lewat media sosial, aplikasi pemilu, dan situs web resmi sangat penting. Kampanye digital yang interaktif  seperti tanya jawab online, video pendek tentang calon, infografis  bisa menjangkau pemilih muda dan mereka yang aktif secara daring. Monitoring partisipasi dan evaluasi berkelanjutan. Setiap Pilkada harus diiringi evaluasi partisipasi berdasarkan kecamatan atau kelompok masyarakat. Dengan data ini, KPU Dompu bisa mengetahui daerah yang rendah partisipasi untuk kemudian difokuskan usaha sosialisasi lebih intensif. Harapan Demokrasi Dompu yang Hidup Dengan upaya meruntuhkan apatisme, Pilkada Dompu bisa menjadi momen demokratis yang inklusif dan bermakna. Warga Dompu yang tidak diam, tapi sadar memilih, akan memperkuat legitimasi pemerintahan lokal. Partisipasi menyeluruh juga akan mendorong calon pemimpin berkompetisi berdasarkan program dan integritas, bukan dominasi uang atau kekuatan elite. Demokrasi yang hidup bukan hanya soal rutinitas pemilu, tetapi tentang bagaimana suara rakyat benar-benar menjadi pijakan dalam setiap pengambilan keputusan. Dompu memiliki potensi besar untuk menjadi contoh daerah yang menerapkan demokrasi secara substansial bukan hanya prosedural. Harapan terhadap demokrasi di Dompu lahir dari partisipasi masyarakat yang sadar, aktif, dan kritis. Masyarakat yang tidak hanya datang ke TPS saat pemilihan, tetapi juga terus mengawal jalannya pemerintahan, mengawasi kebijakan, dan menyuarakan kepentingan publik secara terbuka. Demokrasi yang hidup juga menuntut adanya keterbukaan dari penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah, serta komitmen untuk menegakkan integritas, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang berkualitas. Edukasi politik, peningkatan literasi warga, dan keterlibatan generasi muda menjadi elemen penting dalam membangun kesadaran kolektif. Harapan ini akan menjadi nyata jika semua elemen pemerintah, penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, media, dan tokoh masyarakat berjalan beriringan. Dompu bisa menjadi wajah demokrasi yang sehat, jika nilai-nilai partisipatif, inklusif, dan berkeadilan terus dijaga, karena Demokrasi Bukan Milik Elite, Tetapi Milik Rakyat. Pilkada Dompu bukan hanya urusan memilih pemimpin, tetapi panggilan kolektif membangun masa depan daerah. Untuk itu, meruntuhkan apatisme bukan pekerjaan ringan, namun kewajiban moral bersama antara penyelenggara, calon, dan masyarakat. Seperti kata pepatah lokal Demokrasi Yang Kuat Dibangun Dari Akar Rumput Yang Hidup. Mari jadikan Pilkada Dompu sebagai momentum kebangkitan demokrasi lokal bukan sekadar pemilihan, tetapi perjalanan bersama menuju Dompu yang lebih berdaya dan bermartabat. Penulis Oleh : Maman Apriansyah ( Kadiv.Hukum & Pengawasan )

Ketika Demokrasi Hanya Menjadi Ritual Demokrasi sering dirayakan dengan gegap gempita: kampanye, baliho, debat, dan euforia di media sosial. Namun setelah itu, sunyi. Rakyat kembali menjadi penonton, dan idealisme demokrasi berhenti di bilik suara. Inilah paradoks yang kita hadapi: demokrasi hidup di atas kertas, tetapi mati di dalam kesadaran. Dalam kondisi seperti ini, peran pemuda menjadi penentu arah. Bukan karena mereka sekadar generasi penerus, tetapi karena merekalah yang memiliki keberanian untuk bertanya — bahkan menggugat — ketika demokrasi kehilangan maknanya. Sejarah bangsa ini sudah membuktikan, dari Sumpah Pemuda 1928 hingga Reformasi 1998, perubahan besar selalu dimulai dari keberanian moral anak muda yang menolak diam di tengah ketidakadilan. Namun kini, tantangan pemuda berbeda. Bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan kesadaran. Dunia digital menciptakan ruang kebebasan yang semu — di mana kebisingan informasi sering menenggelamkan kebenaran, dan opini lebih cepat menyebar daripada pemahaman. Demokrasi kita bisa menjadi rapuh jika generasi mudanya kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan independen. Membangun Literasi Demokrasi Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang cerdas secara politik. Namun realitanya, sebagian besar pemuda masih menganggap politik sesuatu yang kotor, rumit, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ruang publik dikuasai oleh mereka yang berani bersuara, tapi belum tentu berintegritas. Inilah mengapa literasi demokrasi menjadi kebutuhan mendesak. Pemuda harus memahami bahwa demokrasi bukan sekadar tentang memilih, tetapi juga tentang mengawasi, berpartisipasi, dan bertanggung jawab terhadap arah kebijakan publik. Mereka perlu dilatih untuk membaca isu sosial secara kritis, mengenali manipulasi informasi, dan memahami hak-hak warga negara. Kampus, organisasi kepemudaan, hingga komunitas digital perlu menjadi ruang pendidikan politik yang hidup — bukan tempat indoktrinasi, tetapi tempat berdialog, berdebat, dan belajar menghargai perbedaan. Literasi demokrasi tidak cukup diajarkan dalam ruang kelas, tetapi harus dipraktikkan dalam keseharian: bagaimana bersikap adil, berargumentasi tanpa membenci, dan menolak intoleransi dalam bentuk apa pun. Dari Partisipasi Seremonial ke Partisipasi Substansial Banyak pemuda aktif di media sosial, tetapi pasif dalam proses pengambilan keputusan nyata. Demokrasi digital memang membuka peluang ekspresi, tetapi sering kali hanya menciptakan partisipasi semu: ramai di dunia maya, tapi sepi di dunia nyata. Pemuda perlu bergerak dari simbol ke substansi — dari sekadar menjadi “followers” menuju “pengambil peran”. Partisipasi sejati bukan hanya memilih saat pemilu, tetapi juga terlibat dalam advokasi sosial, penelitian kebijakan, dan gerakan komunitas yang berorientasi pada solusi. Di banyak daerah, muncul inisiatif pemuda yang mempraktikkan demokrasi dalam bentuk baru: gerakan lingkungan, koperasi digital, kampanye literasi desa, hingga startup sosial. Mereka tidak menunggu momentum politik, tetapi menciptakan perubahan kecil yang berdampak luas. Di situlah kedaulatan demokrasi menemukan maknanya — ketika rakyat, terutama pemuda, mampu mengambil alih peran sebagai penggerak, bukan penonton. Integritas: Nafas dari Demokrasi yang Hidup Namun, sekuat apa pun partisipasi, demokrasi akan rapuh tanpa integritas moral. Politik uang, korupsi, dan manipulasi informasi menjadi penyakit yang merusak akar demokrasi kita. Di tengah kondisi ini, pemuda harus menjadi kontras moral yang menegakkan etika di atas kepentingan sesaat. Kepemimpinan pemuda masa depan tidak cukup hanya dengan kemampuan intelektual, tetapi juga keberanian moral untuk mengatakan “tidak” pada ketidakadilan. Demokrasi bukan sekadar sistem yang menjamin kebebasan, melainkan juga ujian terhadap integritas: apakah kita masih sanggup jujur, adil, dan berpihak pada kebenaran meski tanpa sorotan kamera? Dalam konteks itu, peran pendidikan dan komunitas menjadi penting. Kampus seharusnya menjadi laboratorium etika publik — tempat menumbuhkan empati, tanggung jawab sosial, dan keberanian berpendapat. Organisasi kepemudaan pun harus kembali pada jati dirinya sebagai ruang pembelajaran karakter, bukan sekadar tangga menuju kekuasaan. Menegakkan Kedaulatan dari Dalam Diri Kedaulatan demokrasi sejati tidak hanya diukur dari proses politik, tetapi dari kesadaran diri warga negara. Demokrasi yang berdaulat adalah demokrasi yang tumbuh dari dalam — dari pikiran yang merdeka, hati yang jernih, dan tindakan yang bertanggung jawab. Pemuda harus menyadari bahwa menjadi warga negara yang berdaulat berarti berani berpikir sendiri, tidak mudah disetir opini, dan tidak menyerahkan nasib bangsa pada elit politik semata. Demokrasi hanya hidup bila rakyatnya sadar, dan kesadaran itu tumbuh dari kemampuan untuk meragukan, mempertanyakan, dan mencari kebenaran dengan jujur. Dalam era disrupsi, peran pemuda menjadi lebih dari sekadar penggerak politik. Mereka adalah penjaga nalar publik. Mereka harus memastikan bahwa demokrasi tidak terjebak dalam ritual elektoral, tetapi menjadi ruang etis untuk memperjuangkan martabat manusia. Demokrasi tanpa kesadaran hanyalah prosedur; tetapi demokrasi dengan kesadaran adalah peradaban. Penutup: Dari Suara ke Tindakan Kita tidak kekurangan pemuda yang cerdas. Yang kita butuhkan adalah pemuda yang berani — berani berpikir merdeka, berani menolak kompromi yang koruptif, dan berani mencintai bangsa ini dengan tindakan nyata. Kedaulatan demokrasi tidak bisa diwariskan; ia harus diperjuangkan setiap hari, dengan pikiran yang terbuka dan hati yang jujur. Pemuda harus meneguhkan dirinya sebagai penjaga nurani bangsa, bukan sekadar pewaris sejarah. Karena di tangan mereka, demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan janji kemanusiaan: bahwa setiap manusia berhak untuk hidup bermartabat, berpendapat bebas, dan menentukan nasibnya sendiri. Dan mungkin, saat bangsa ini kembali kehilangan arah, suara jujur dari seorang pemuda — meski kecil — akan lebih berarti daripada seribu janji dari para penguasa. Penulis : Yusuf (Anggota KPU Dompu)

Pembangunan Zona Integritas (ZI) merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mencegah  korupsi. Zona Integritas adalah suatu predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang telah berhasil melaksanakan reformasi birokrasi dan memiliki komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi atau Wilayah Bebas Korupsi (WBK). Pelayanan publik idealnya diwarnai oleh kecepatan, kesederhanaan, dan aksesibilitas bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun pada praktiknya, masyarakat sering kali dihadapkan pada banyaknya prosedur yang harus dilewati seperti antrian panjang, persyaratan berlapis, serta proses yang melelahkan. Konsep “pelayanan publik tanpa ribet” mengisyaratkan birokrasi pemerintah untuk menyediakan layanan satu pintu yang dapat memudahkan masyarakat mengakses berbagai layanan publik, menyederhanakan proses dan prosedur layanan publik untuk mengurangi kerumitan dan waktu tunggu, memastikan penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan kemudahan akses layanan publik, seperti layanan daring dan aplikasi mobile, memberikan layanan yang ramah dan responsif untuk meningkatkan kepuasan masyarakat, kemudian adanya transparansi dan akuntabilitas dalam layanan publik untuk membangun kepercayaan masyarakat. Beberapa hal tersebut adalah salah satu upaya merombak tatanan birokrasi tradisional menjadi sistem yang efisien dan ramah.   Zona Integritas sebagai Wujud Reformasi Birokrasi Zona Integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang memiliki komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui Reformasi Birokrasi, sedangkan Reformasi Birokrasi adalah upaya untuk meningkatkan kualitas dan kinerja birokrasi pemerintah melalui perubahan-perubahan struktural dan kultural. Lalu, apa urgensinya antara pembangunan zona integritas dengan peningkatan kualitas pelayanan publik? Pembangunan zona integritas memiliki kaitan yang erat dengan kualitas pelayanan publik, Pertama karena pembangunan zona integritas dapat meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya, sehingga masyarakat dapat memantau dan mengawasi proses pelayanan publik. Kedua, pembangunan zona integritas mencegah korupsi dan pungutan liar sehingga masyarakat dapat menikmati pelayanan publik yang lebih berkualitas dan tidak terbebani oleh biaya tidak resmi. Ketiga, pembangunan zona integritas meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pejabat dan pegawai sehingga mereka lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lebih bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan publik. Keempat, pembangunan zona integritas meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan memprioritaskan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan efisiensi dalam proses pelayanan. Dengan demikian, pembangunan zona integritas dan peningkatan kualitas pelayanan publik memiliki urgensi yang sama dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, kepuasan masyarakat, dan efisiensi dalam proses pelayanan. Oleh karena itu, lembaga publik perlu melakukan upaya untuk membangun Zona Integritas dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.   Peran Sumber Daya Manusia (SDM) Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu aset paling berharga dalam sebuah organisasi sedangkan sumberdaya manusia yang unggul adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang tinggi dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan memiliki sumberdaya manusia yang unggul, organisasi dapat meningkatkan kinerja, kualitas pelayanan, dan daya saingnya. Sumber Daya Manusia yang unggul merupakan faktor kunci dalam peningkatan pelayanan publik. Dengan memiliki sumberdaya manusia yang unggul, birokrasi pemerintah dan lembaga publik dapat meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kepuasan masyarakat. Sumberdaya manusia yang unggul memiliki kompetensi, produktivitas, inovasi, adaptabilitas, pengalaman, dan motivasi yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan publik, sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan sumberdaya manusia yang unggul sangat penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Pengembangan sumber daya manusia merupakan strategi penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Melalui pengembangan sumberdaya manusia, birokrasi pemerintah dan lembaga publik dapat meningkatkan kompetensi, kemampuan, dan motivasi pegawai, sehingga dapat memberikan layanan yang lebih berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Diantara yang dapat dilakukan oleh birokrasi pemerintah atau lembaga publik adalah melalui rekrutmen yang efektif, pelatihan dan pengembangan, pengembangan karir, dan pemberian penghargaan yang adil dan transparan. Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah bagaimana sumberdaya manusia yang dihasilkan melalui proses rekrutmen yang efektif, pelatihan dan pengembangan, pengembangan karir, dan pemberian penghargaan yang adil dan transparan dikelola dengan penataan sistem manajemen sumberdaya manusia yang baik. Penataan sistem manajemen sumberdaya manusia itu meliputi perencanaan,mpengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan, sehingga berdampak pada peningkatan kualitas layanan, meningkatkan efesiensi, meningkatnya kepercayaan masyarakat dan kinerja birokrasi pemerintah akan lebih baik.   Kendala Struktural Dalam Peningkatan Layanan Publik Peningkatan layanan publik merupakan salah satu prioritas utama pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai kendala yang dapat menghambat peningkatan layanan publik. Salah satu kendala yang paling signifikan adalah kendala struktural, yaitu kendala yang terkait dengan struktur organisasi, sistem, dan prosedur yang ada dalam lembaga pemerintah. Kendala struktural dapat berupa birokrasi yang kompleks, prosedur yang rumit, dan kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga dapat menghambat proses pelayanan publik. Bahwa hasil analisis dan evaluasi terhadap kendala struktural dalam peningkatan layanan publik menunjukkan bahwa birokrasi yang kompleks, prosedur yang rumit, kurangnya koordinasi antar lembaga, struktur organisasi yang tidak efektif, dan keterbatasan sumberdaya merupakan beberapa kendala utama yang menghambat peningkatan layanan publik. Analisis sederhana dengan menggunakan studi kasus melalui wawancara dengan pegawai pemerintah pemberi layanan dan masyarakat pengguna layanan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kendala struktural dapat menyebabkan keterlambatan, kesalahan, dan kurangnya kepuasan masyarakat terhadap layanan yang dibrikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi, meningkatkan koordinasi antar lembaga, pengembangan dan rotasi struktur organisasi yang efektif, penetapan standar operasional prosedur (SOP), dan peningkatan sumberdaya untuk mengatasi kendala struktural dalam meningkatkan kualitas layanan publik. Di era digitalisasi saat ini, pengembangan dan peningkatan layanan publik menjadi sangat penting untuk meningkatkan efisiensi, aksesibilitas, dan kualitas layanan kepada masyarakat. Transformasi digital memungkinkan lembaga publik untuk memberikan layanan yang lebih cepat, efektif, dan efisien melalui penerapan teknologi informasi. Dengan mengintegrasikan teknologi digital dalam berbagai aspek pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan, mengurangi kesalahan, meningkatkan aksesibilitas layanan publik melalui platform digital untuk masyarakat luas. Beberapa langkah yang perlu dimaksimalkan dalam mengantisipasi kendala struktural untuk layanan publik yang lebih baik adalah dengan melakukan remormasi birokrasi, pengembangan system informasi,  koordinasi multi stakeholder, pelatihan dan pengembangan SDM, peningkatan transparansi, pembangunan infrastruktur, pengawasan dan evaluasi, serta peningkatan partisipasi masyarakat. Dengan cara-cara tersebut lembaga publik dapat memaksimalkan layanan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.   Tantangan dan Peluang dalam Pembangunan Zona Integritas Pembangunan Zona Integritas merupakan upaya penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mencegah korupsi di instansi pemerintah. Zona Integritas adalah suatu area atau wilayah yang bebas dari korupsi dan memiliki birokrasi yang bersih dan melayani. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat tantangan dari berbagai sudut pandang, termasuk masyarakat, akademisi, dan hukum dalam pembanguna zona integritas. Karakteristik birokrasi yang bersih dan melayani meliputi transparansi, akuntabilitas, responsif, dan profesional. Pembangunan birokrasi yang bersih dan melayani memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mencegah korupsi. Tantangan dari Sudut Pandang Masyarakat Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam pembangunan zona integritas. Namun, masyarakat juga memiliki tantangan dalam memantau dan mengawal pembangunan zona integritas, diantaranya kurangnya kesedaran dan pengetahuan tentang zona integritas serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan zona integritas. Tantangan dari Sudut Pandang Akademisi Akademisi memiliki peran penting dalam pembangunan zona integritas melalui penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang integritas dan korupsi. Namun, akademisi juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain penelitian tentang zona integritas masih terbatas serta teori tentang integritas dan korupsi belum sepenuhnya diintegrasikan dengan praktik pembangunan zona integritas.   Tantangan dari Sudut Pandang Hukum Dalam pandang hukum pembangunan zona integritas dapat melalui pengaturan dan penegakan hukum tentang korupsi dan integritas. Namun, hukum juga menghadapi beberapa tantangan, dimana Penegakan hukum tentang korupsi masih lemah dan kurangnya kepemimpinan yang berintegritas. Meskipun terdapat banyak tantangan dalam pembangunan zona integritas, namun juga terdapat beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memastikan bahwa pelayanan dan kepuasan masyarakat terus dapat di tingkatkan. Peluang-peluang tersebut berupa: Pertama, peningkatan kualitas pelayanan publik melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan transparansi. Kedua, mencegah korupsi melalui peningkatan integritas dan akuntabilitas aparatur Negara. Ketiga, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya bersama-sama antara masyarakat, akademisi, dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa pembangunan zona integritas dapat berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan.   Pembangunan Zona Integritas  dalam Perspektif Budaya Manggini, Manggari dan Mataroa Komponen Penting dalam Pembangunan Zona Integritas adalah bagaimana mengubah pola pikir dan budaya kerja menjadi lebih adaptif, inovatif, dan professional, meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, dan prosedur kerja, meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas SDM, meningkatkan pengawasan dan pengendalian internal, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang prima dan bebas dari korupsi. Pembangunan zona integritas dalam perspektif Manggini merupakan pembangunan zona integritas yang berorientasi pada nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah, menawarkan lensa yang unik dan mendalam untuk memahami pelayanan publik. Lebih dari sekadar prosedur dan regulasi, pelayanan publik dalam perspektif ini adalah tentang membangun hubungan yang bermakna antara penyedia layanan dan masyarakat, serta mewujudkan kesejahteraan bersama yang berakar pada nilai-nilai yang kuat, memiliki tujuan yang jelas, dilakukan secara menyeluruh pada semua aspek. Nilai-nilai yang dapat dipetik dalam perspektif manggini : Pertama, kolaborasi untuk kepentingan bersama, yakni melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Kedua, Sentuhan Humanis dalam pelayanan, yakni masyarakat tidak lagi dipandang sebagai angka statistik atau penerima manfaat, tetapi sebagai individu yang memiliki kebutuhan, harapan, dan perasaan. Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, di mana setiap suara didengar dan dihargai untuk menjaring aspirasi dan kebutuhan mereka. Kemudian pembangunan zona integritas dalam perspektif Manggari merupakan wujud keterlibatan aktif masyarakat dalm mendukung dan mengawasi transformasi birokrasi, agar benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Masyarakat bukan hanya penerima layanan, melainkan mitra strategis, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam menyuarakan aspirasi, memberikan penilaian, dan ikut serta mengawasi pelayanan publik. Masyarakat dapat mengambil bagian melalui forum konsultasi publik, survei kepuasan, hingga laporan pengaduan, masyarakat secara langsung dapat mendorong budaya integritas di lingkungan lembaga publik.. Semangat Manggari mendorong masyarakat untuk tidak diam, tetapi menjadi bagian dari perubahan. Mengubah cara pandang dari birokrasi yang eksklusif menjadi pelayanan yang inklusif. Ketika masyarakat ikut serta dengan sadar, dan lembaga membuka diri dengan tulus, maka reformasi pelayanan publik bukan lagi wacana, tapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh semua. Ini menjadikan pembangunan zona integritas lebih membumi, lebih kontekstual, dan lebih bermakna. Sedangkan dalam perspektif Mataroa secara harfiah bermakna terang atau tidak disembunyikan. Namun secara filosofis bahwa Mataroa menggambarkan nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, dan tanggungjawab dalam setiap tindakan. Maka, nilai ini menjadi pondasi moral yang sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat. Dalam konteks pelayanan publik bahwa nilai Mataroa atau transparan akan mendorong keterbukaan proses, prosedur yang jelas, serta informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Transparansi mencakup berbagai aspek, mulai dari penyampaian informasi layanan, standar waktu dan biaya, mekanisme pengaduan, hingga evaluasi kinerja. Dalam semangat Mataroa, semua ini harus disajikan secara jelas, jujur, dan mudah dipahami masyarakat, tanpa disamarkan atau disulitkan. Menghidupkan nilai Mataroa dalam layanan publik dapat di implementasikan dengan cara : Menyediakan papan informasi layanan yang akurat dan mudah diakses, Menyampaikan alur prosedur layanan secara terbuka baik secara digital maupun manual, Membangun sistem pelaporan dan pengaduan yang responsif dan transparan, kemudian memberikan ruang dialog antara penyedia layanan dan masyarakat. Dengan menjadikan Mataroa sebagai pijakan moral, lembaga publik tidak hanya menciptakan layanan yang lebih terbuka, tetapi juga memperkuat legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Akhirnya, proses pembangunan zona integritas diperlukan komitmen secara menyeluruh terhadap sumberdaya yang ada meski tantangan demi tantangan mulai dari resistensi budaya hingga disparitas infrastruktur bukanlah penghalang mutlak, melainkan panggilan untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Dengan komitmen yang kuat, sinergi lintas sektor, dan partisipasi masyarakat yang aktif, visi pelayanan publik tanpa ribet bukan hanya terwujud, tetapi juga menjadi fondasi bagi birokrasi pemerintah yang lebih efisien, inklusif, dan berdaya saing di era digital./(ma)