Opini

Meruntuhkan Apatisme : Kunci Meningkatkan Partisipasi Pemilih di Pilkada Dompu

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana penting dalam mewujudkan demokrasi lokal yang partisipatif dan akuntabel. Namun, dalam pelaksanaannya, tantangan terbesar yang dihadapi adalah apatisme politik, yaitu sikap acuh tak acuh atau ketidakpedulian masyarakat terhadap proses pemilihan. Di Kabupaten Dompu, fenomena ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani secara serius dan sistematis.

Partisipasi masyarakat bukan sekadar angka, tapi cerminan hidupnya demokrasi lokal. Meruntuhkan apatisme adalah tanggung jawab bersama penyelenggara, pemerintah, peserta pemilu, dan masyarakat. Pilkada Dompu 2024 adalah momentum untuk membuktikan bahwa suara rakyat Dompu benar-benar berarti. Karena ketika rakyat percaya dan peduli, demokrasi akan tumbuh subur, dan Dompu akan melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

Namun seperti banyak daerah lain, Kabupaten Dompu menghadapi masalah klasik yakni apatisme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, hal ini menjadi bukti bahwa tingkat partisipasi masyarakat Dompu pada Pilkada 2024 berkisar 86,44% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 190.546. Meskipun demikian tingkat partisipasi pemilih di Dompu masih yang tertinggi  se-NTB dan melampau target Nasional yakni sebesar 85%. Dengan demikian, semangat untuk menjadikan Pilkada Dompu Manggini, Manggari, Mataroa bukan sekadar seremoni, tetapi momentum nyata demokrasi yang hidup, maka upaya meruntuhkan apatisme menjadi faktor krusial agar partisipasi masyarakat meningkat.

Apatisme sebagai Tantangan Demokrasi Lokal

Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap proses politik dan pemilu, ini dapat muncul dari berbagai faktor diantaranya: kekecewaan terhadap penyelenggaraan sebelumnya, kurangnya kepercayaan pada calon pemimpin, rendahnya pengetahuan tentang hak politik, serta hambatan akses informasi. Di Kabupaten Dompu, data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya. Fenomena ini menandakan bahwa banyak warga yang merasa lelah, skeptis, atau tidak melihat manfaat langsung dari penggunaan hak pilih mereka.

Padahal secara konstitusional, partisipasi pemilih merupakan elemen penting demokrasi. Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Maka, partisipasi masyarakat bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab untuk mewujudkan legitimasi pemerintahan.

 

Faktor-faktor Penyebab Apatisme Pemilih

Pertama, Keterbatasan informasi dan literasi politik menjadi penyebab utama apatisme pemilih, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya suara mereka dalam menentukan arah kebijakan publik membuat sebagian masyarakat merasa tidak perlu ikut serta ditambah dengan masih banyaknya warga yang tidak mendapatkan informasi memadai mengenai calon, visi-misi, serta alur  pelaksanaan Pilkada. Tanpa pemahaman, motivasi memilih akan rendah.

Kedua, Ketidakpercayaan terhadap penyelenggara dan calon. Pemilih yang pernah atau sering menyaksikan berbagai isu seperti dugaan kecurangan, manipulasi suara, atau kurangnya transparansi dalam proses pemilu, akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara seperti KPU atau Bawaslu. Kemudian banyak pemilih merasa bahwa calon yang bertarung dalam Pilkada hanya sekadar mencari kekuasaan tanpa benar-benar memiliki komitmen membangun daerah. Apalagi jika figur-figur tersebut memiliki rekam jejak buruk, tersangkut kasus korupsi, atau tidak pernah hadir di tengah masyarakat. Hal ini memicu rasa pesimis dan membuat pemilih berpikir bahwa siapapun yang menang, tidak akan membawa perubahan.

Ketiga, Hambatan fisik dan geografis. Kelompok rentan secara fisik, seperti penyandang disabilitas, lansia, atau sakit, juga menghadapi kesulitan untuk hadir di TPS jika tidak tersedia aksesibilitas yang ramah dan bantuan yang memadai. Begitupun dengan wilayah terpencil seperti desa-desa pedalaman atau daerah pegunungan, pemilih sering kali harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai TPS, di tambah dengan jalan yang rusak, medan berat, serta minimnya fasilitas umum seperti jembatan atau kendaraan umum. Ini menjadi beban tersendiri, terutama jika tidak tersedia sarana transportasi yang memadai.

Keempat, Jam kerja dan kesibukan ekonomi. Salah satu penyebab rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilihan adalah benturan antara waktu pemungutan suara dengan aktivitas kerja atau mata pencaharian utama masyarakat, terutama di kalangan buruh, pekerja harian, pedagang, dan petani. Meski hari pemilihan biasanya ditetapkan sebagai hari libur nasional, banyak pekerja di sektor informal yang tetap bekerja karena sistem upah harian. Mereka cenderung mengutamakan bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dibanding menggunakan hak pilihnya.

Kelima, Pengalaman pemilu sebelumnya. Pengalaman negatif dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya menjadi salah satu penyebab kuat munculnya sikap apatis di kalangan pemilih. Hal ini berpengaruh terhadap persepsi dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan efektivitas suaranya. Banyak pemilih merasa kecewa karena kandidat yang mereka pilih tidak menjalankan janji politiknya atau tidak membawa perubahan yang signifikan setelah terpilih. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa memilih tidak memberikan dampak nyata bagi kehidupan mereka. Kemudian adanya praktik politik uang, manipulasi suara, atau pelanggaran dalam proses pemilu sebelumnya juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara maupun peserta pemilu masyarakat menjadi ragu apakah proses pemilihan benar-benar jujur dan adil.

Akumulasi pengalaman buruk ini membentuk sikap skeptis dan apatis, sehingga pemilih enggan datang ke TPS atau bahkan memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali dalam proses politik.

Strategi Meruntuhkan Apatisme di Pilkada Dompu

  1. Pendidikan dan literasi politik yang inklusif. Penyelenggara (KPU Dompu) bersama stakeholder lokal perlu melakukan pendidikan politik yang mudah dipahami, menggunakan bahasa daerah jika perlu, menyasar sekolah, pemuda, dan komunitas. Media lokal dan media sosial juga harus dimanfaatkan agar informasi politik cepat hingga ke lapisan masyarakat.
  2. Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan. Publikasikan secara terbuka alur tahapan Pilkada, biaya, penyelesaian sengketa, serta mekanisme pengaduan. Dengan begitu warga dapat melihat bahwa proses demokrasi berjalan adil. Ini akan membangun kepercayaan.
  3. Kolaborasi dengan tokoh lokal, agama, dan komunitas. Tokoh agama, tokoh adat, maupun komunitas lokal bisa menjadi “jembatan” antara penyelenggara dan masyarakat. Dengan mengajak mereka aktif terlibat dalam sosialisasi, ajakan untuk menggunakan hak pilih menjadi lebih efektif.
  4. Pelayanan dan fasilitas pemilih yang ramah. Pertimbangkan pengaturan waktu yang memudahkan warga, penempatan TPS yang strategis, fasilitas akses bagi kelompok disabilitas, serta layanan transportasi bila diperlukan agar warga tidak terbebani secara fisik atau logistik.
  5. Penguatan kehadiran digital dan media komunikasi. Dalam era digital, penyebaran informasi lewat media sosial, aplikasi pemilu, dan situs web resmi sangat penting. Kampanye digital yang interaktif  seperti tanya jawab online, video pendek tentang calon, infografis  bisa menjangkau pemilih muda dan mereka yang aktif secara daring.
  6. Monitoring partisipasi dan evaluasi berkelanjutan. Setiap Pilkada harus diiringi evaluasi partisipasi berdasarkan kecamatan atau kelompok masyarakat. Dengan data ini, KPU Dompu bisa mengetahui daerah yang rendah partisipasi untuk kemudian difokuskan usaha sosialisasi lebih intensif.

Harapan Demokrasi Dompu yang Hidup

Dengan upaya meruntuhkan apatisme, Pilkada Dompu bisa menjadi momen demokratis yang inklusif dan bermakna. Warga Dompu yang tidak diam, tapi sadar memilih, akan memperkuat legitimasi pemerintahan lokal. Partisipasi menyeluruh juga akan mendorong calon pemimpin berkompetisi berdasarkan program dan integritas, bukan dominasi uang atau kekuatan elite.

Demokrasi yang hidup bukan hanya soal rutinitas pemilu, tetapi tentang bagaimana suara rakyat benar-benar menjadi pijakan dalam setiap pengambilan keputusan. Dompu memiliki potensi besar untuk menjadi contoh daerah yang menerapkan demokrasi secara substansial bukan hanya prosedural. Harapan terhadap demokrasi di Dompu lahir dari partisipasi masyarakat yang sadar, aktif, dan kritis. Masyarakat yang tidak hanya datang ke TPS saat pemilihan, tetapi juga terus mengawal jalannya pemerintahan, mengawasi kebijakan, dan menyuarakan kepentingan publik secara terbuka.

Demokrasi yang hidup juga menuntut adanya keterbukaan dari penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah, serta komitmen untuk menegakkan integritas, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang berkualitas. Edukasi politik, peningkatan literasi warga, dan keterlibatan generasi muda menjadi elemen penting dalam membangun kesadaran kolektif.

Harapan ini akan menjadi nyata jika semua elemen pemerintah, penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, media, dan tokoh masyarakat berjalan beriringan. Dompu bisa menjadi wajah demokrasi yang sehat, jika nilai-nilai partisipatif, inklusif, dan berkeadilan terus dijaga, karena Demokrasi Bukan Milik Elite, Tetapi Milik Rakyat.

Pilkada Dompu bukan hanya urusan memilih pemimpin, tetapi panggilan kolektif membangun masa depan daerah. Untuk itu, meruntuhkan apatisme bukan pekerjaan ringan, namun kewajiban moral bersama antara penyelenggara, calon, dan masyarakat. Seperti kata pepatah lokal Demokrasi Yang Kuat Dibangun Dari Akar Rumput Yang Hidup. Mari jadikan Pilkada Dompu sebagai momentum kebangkitan demokrasi lokal bukan sekadar pemilihan, tetapi perjalanan bersama menuju Dompu yang lebih berdaya dan bermartabat.

Penulis Oleh : Maman Apriansyah ( Kadiv.Hukum & Pengawasan )

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 187 kali